Thursday, July 22, 2010

Ocky Karna Radjasa, Peneliti Mikroba Laut Peraih Cipta Lestari KEHATI Award Jelajahi Kepulauan, Buat Film Bareng Mira Lesmana

Keanekaragaman hayati yang melimpah ruah di Indonesia belum tergarap maksimal. Salah satunya keanekaragaman mikrobiologi laut. Padahal, potensi mikroba laut, salah satunya, sebagai sumber obat antikanker, antitumor, dan sumber pigmen alternatif sangat besar. Dr Drs Ocky Karna Radjasa M.Sc, staf pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip, salah satu ahli di bidang ini. Seperti apa?

DWINANDA ARDHI

---------------------------------------------

SELAMA ini organisme laut yang banyak dieksplorasi di Indonesia untuk kepentingan penelitian, umumnya masih terbatas pada invertebrata seperti hewan spons, karang lunak, kelinci laut, cumi-cumi. Juga dari tanaman jenis rumput laut.

Padahal, pengambilan organisme-organisme ini secara berlebihan bisa mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang. Apalagi faktanya waktu pertumbuhan hewan invertebrata dan tanaman laut tersebut relatif lama. Karenanya, penelitian organisme-organisme laut lain perlu lebih dikembangkan.

Berbekal fakta ini, Ocky memutuskan melakukan penelitian di bidang mikrobiologi laut. Ia menuturkan, "Bidang mikrobiologi laut masih menjadi bidang studi yang terabaikan di Indonesia. Saya yakin tidak ada lebih dari 10 doktor di bidang ini di Indonesia."

Ia juga menambahkan, penelitian di bidang ini dapat memberikan kontribusi keilmuan yang luar biasa di masa mendatang. Fokus penelitian pria kelahiran Purwokerto, 29 Oktober 1965 ini, berpusat pada upaya mencari mikroba laut yang berasosiasi dengan invertebrata terumbu karang.

Sebagai negara yang mendapat julukan megadiversity country atas keanekaragaman hayatinya, pemanfaatan mikroba laut di Indonesia yang bisa diisolasi di darat ternyata baru 1 persen saja. "Sisanya kita hanya tahu bahwa ada mikroba itu di laut, tapi belum bisa kita manfaatkan," ujarnya.

Pemanfaatan mikroba laut sebagai bahan penelitian mengandung beberapa keunggulan. Selain berpotensi menjadi obat ramah lingkungan, mikroba juga tak perlu waktu lama untuk tumbuh. Dalam waktu 6 jam saja, mikroba laut sudah bisa mencapai fase logaritma dengan jumlah sel yang bisa menjadi 2 kali lipat dari jumlah sel semula yang dimilikinya. Ini berbeda dengan invertebrata atau tanaman laut yang membutuhkan waktu relatif panjang untuk tumbuh.

Lulusan Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto tahun 1989 ini mengaku mulai mendalami penelitiannya sejak 2002. Saat itu Ocky mulai aktif melakukan komunikasi melalui email dengan para ahli bidang mikroorganisme laut di berbagai universitas luar negeri.

Tak berapa lama kemudian, kesempatan untuk melakukan penelitian di Jerman selama 6 bulan datang kepadanya. Ayah dua orang anak ini pun mendapat kesempatan banyak belajar tentang mikroba laut yang berasosiasi dengan terumbu karang yang ternyata dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.

Penelitian yang didanai oleh University of Oldenburg Jerman itu menghasilkan temuan bahwa senyawa biotik yang terkandung dalam mikroba laut berpotensi untuk dijadikan berbagai sumber obat antikanker, antitumor, antibiotik, dan antibakteri. Juga antijamur, antivirus, antiperadangan, sumber enzim seperti amylase, tripase, lipase, dll, dan juga sebagai sumber pigmen alternatif.

"Selama ini orang masih banyak mengambil sumber pigmen dari tanaman, khususnya bunga. Padahal, untuk menghasilkan ekstrak warna yang tidak seberapa, jumlah bunga yang dibutuhkan relatif besar, " beber Ocky.

Mikroba yang dimanfaatkan peraih gelar Master of Science dari McMaster University, Hamilton, Canada, pada 1994 ini-- antara lain-- terdiri atas jenis pseudomonas, fibrio, bacyllus, dan actinomycetes.

Mikroba yang dipilih Ocky adalah jenis mikroba yang berasosiasi dengan terumbu karang. Beberapa jenis mikroba tertentu memang diketahui hidup bersimbiosis mutualisme dengan terumbu karang. Terumbu karang menghasilkan mucus sebagai sumber makanan mikroba. Sedangkan mikroba dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang mampu melindungi terumbu karang dari serangan bakteri yang bersifat pathogen.

Ocky termasuk peneliti beruntung. Ia banyak mendapatkan bantuan dana penelitian dari berbagai pihak, baik dalam dan luar negeri. Sepanjang 2004 hingga 2007, ia telah mendapat support dana.

Di antaranya dari program Riset Unggulan Terpadu Internasional Menteri Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Pemerintah Kanada, Indonesia- Italy Bilateral Program on Science and Technological Cooperation.

Juga dari Lienbergh Foundation America, International Foundation of Science, Swedia, United Nation University- Gwangju Institute of Science and Technology, Korea, dan dari Alexander von Humboldt Foundation, Jerman.

Karya penelitiannya pun hingga kini telah dipublikasikan dalam 8 jurnal internasional. Ia bersyukur karena respons yang diterima dari para pemberi dana terhadap hasil penelitiannya positif.

"Tanggapan mereka luar biasa. Apa yang mereka harapkan tercapai karena dana bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, diketahui orang banyak, dan memberikan kontribusi internasional. Lewat jurnal internasional, orang bisa membaca apa yang saya kerjakan," beber Ocky.

Kerja keras Ocky tak sia-sia. Pada 2006, ia memperoleh penghargaan Cipta Lestari KEHATI Award dari Indonesian Biodiversity Foundation. Ia dianggap sebagai pionir di bidang pemanfaatan mikroba laut yang bermanfaat bagi eksplorasi kenekaragaman hayati di Indonesia. Penelitiannya dianggap memiliki keunikan dan belum pernah dilakukan peneliti lain di negeri ini.

Penghargaan KEHATI tersebut juga membawanya pada sebuah pengalaman baru. Pada 2007, Ocky berkesempatan untuk bekerjasama dengan Mira Lesmana membuat sebuah film dokumenter. Tema film penyelamatan lingkungan di Pulau Kakaban, Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur.

Film yang disutradarai oleh Riri Reza dan dibintangi aktor Nicholas Saputra itu bercerita tentang usaha-usaha untuk menyelamatkan ekosistem Pulau Kakaban yang unik.

Di tengah pulau itu terdapat sebuah danau yang airnya asin. Semua organisme yang ada di danau itu pun adalah organisme yang biasa ditemukan hidup di laut. "Di seluruh dunia, ekosistem ini hanya ada dua. Satu di Indonesia dan satu lagi di Pulau Palau, Filiphina," ujar pemimpin redaksi Journal of Coastal Development ini.

Di film yang berjudul Nicholas Saputra and The Miracle of Cacaban Island ini Ocky bertugas memberikan pengetahuan yang memperkuat sisi keilmuan dari sisi akademis.

Ocky juga patut berbangga. Sebab kini sudah semakin banyak peneliti yang mulai mengikuti langkah penelitiannya. "Pengurangan tekanan terhadap kehidupan terumbu karang sudah mulai terasa. Secara keilmuan, penelitian yang menggunakan invertebrata sudah mulai berkurang. Sekarang mereka mulai berpikir untuk memanfaatkan mikrobanya saja," beber pria yang sempat diundang mengajar sebagai dosen tamu di UKSW Salatiga, Unsoed, dan IPB ini.

Apa yang telah dicapai Ocky bukanlah tanpa pengorbanan. Penelitiannya seringkali mengharuskan Ocky terjun ke lapangan selama berhari-hari meninggalkan istri dan dua buah hatinya.

Proses eksplorasi mikroba untuk penelitiannya dilakukan dengan menjelajahi wilayah-wilayah Indonesia. Seperti Kepulauan Karimun Jawa, Tenate, Maumere, dll.

Pria yang menamatkan pendidikan S3 di University of Tokyo, Jepang pada 2001 ini menuturkan, "Ya dari keluarga sebenarnya cukup berat ya. Penelitian di lapangan itu kan beririsiko, perjalanannya, cuacanya, dan lokasinya. Anak dan istri cemas, kuatir, wajarlah."

Namun Ocky menuturkan bahwa bentuk pengakuan dan penghargaan yang diterima atas kerja keras penelitiannya tidak bisa dinilai dengan uang." Itu kepuasan batin bagi kami," tambahnya.

Ocky masih menyimpan sejuta harapan akan penelitiannya. Pertama, ia ingin lebih banyak melibatkan masyarakat dalam budidaya invertebrata terumbu karang agar lebih banyak masyarakat yang tahu tentang teknik konservasi.

"Para akademisi juga bisa memanfaatkan hasil budidaya mereka sebagai sumber untuk melakukan screening mikroba sehingga pengambilan dari laut bisa berkurang," ujarnya.

Kedua, ia ingin mengunjungi wilayah-wilayah di Indonesia yang belum tersentuh untuk lebih mempelajari keanekaragaman mikroba yang terkandung di dalamnya. Ketiga, menghasilkan buku ajar di bidang mikrobiologi laut.

Keempat, melakukan regenerasi peneliti di bidang ini. Selanjutnya ia juga berharap dapat menemukan senyawa baru yang terkandung di dalam tubuh mikroba yang dapat memberikan manfaat positif. Terakhir, berharap agar support dana riset bisa terus ada. "Agar saya juga bisa terus meneliti," pesannya. (*/isk)

Sumber: jawapos.co.id

Ocky Karna Radjasa : Ocky, "Jembatan" Laut dan Darat

Juli 22, 2010
Ocky Karna Radjasa : Ocky, "Jembatan" Laut dan Darat
Ocky, "Jembatan" Laut dan Darat
Oleh : Subur Tjahjono

Tidak banyak orang Indonesia yang menekuni mikrobiologi laut. Salah satu dari yang jarang itu adalah Dr Ocky Karna Radjasa (41), ahli mikrobiologi laut dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Berkat ketekunannya meneliti zat bioaktif yang dihasilkan mikroba yang berasosiasi dengan terumbu karang, Ocky memperoleh Kehati Award V tahun 2006 untuk kategori Cipta Lestari Kehati pada 16 November lalu.

Salah satu kriteria kategori Cipta Lestari Kehati itu adalah kegiatan berupa penemuan atau hasil-hasil studi dan penelitian di tingkat laboratorium atau lapangan. Kegiatan itu antara lain berupa pengembangan metode dan atau sistem yang dapat diaplikasikan, baik untuk penyelamatan keanekaragaman hayati maupun pencegahan dan pengurangan ancaman terhadap kelestariannya.

Oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Ocky dianggap memenuhi kriteria itu. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, Ocky melakukan penelitian tentang "Pendekatan Eko-bioteknologis dalam Pengembangan Potensi Mikroba yang Berasosiasi dengan Invertebrata Terumbu Karang sebagai Sumber Senyawa Bioaktif yang Berkelanjutan".

Menurut Ocky, invertebrata atau hewan laut tak bertulang belakang itu merupakan sumber utama berbagai keperluan, termasuk industri dan farmasi. Namun, kalau terus-menerus dimanfaatkan, keberlanjutan terumbu karang ini akan terancam. Ia menawarkan alternatif manajemen kelautan menggunakan aspek eko-bioteknologis yang selama ini diabaikan. "Mikroba pun bisa menjadi alternatif bagian dari manajemen kelautan," ujar Ocky.

Ketua Pusat Studi Kelautan dan Pesisir Tropis Undip itu menggabungkan ekologi dan bioteknologi yang berbasis biologi molekuler untuk meneliti potensi mikroba. Dari hasil penelitiannya, Ocky berkesimpulan bioprospecting atau upaya mengoleksi dan mengembangkan potensi mikroba yang berasosiasi dengan terumbu karang itu bermanfaat untuk pengembangan obat-obatan di masa depan. Terlebih saat ini 70 persen antibiotika berasal Actinomycetes daratan, tetapi yang dari laut belum digali.

"Dari terumbu karang itu kita bisa belajar bagaimana mempertahankan diri," ujar Ocky, dalam perbincangannya dengan Kompas, Sabtu (18/11/2006) malam di rumahnya di Perumahan Kekancan Mukti, Semarang Timur. Layaknya seminar ilmiah, Ocky memaparkan penelitiannya itu secara panjang lebar melalui laptopnya.

Area pengambilan sampel penelitiannya tersebar di perairan seputar Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah) hingga ke Ujung Kulon (Jawa Barat), Bali, Bunaken (Sulawesi Utara), Flores, Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur), dan Raja Ampat (Papua).

Terumbu karang adalah invertebrata yang selalu diam di tempatnya dan tidak punya pertahanan fisik. Padahal, di air laut itu terdapat berbagai macam organisme. Tiap mililiter air laut itu mengandung 10 juta virus, 1 juta bakteri, 1.000 jamur, dan 1.000 mikro-alga.

Senyawa bioaktif di laut sebagian besar dihasilkan Porifera dan Cnidaria. Kedua phyla ini, terutama Porifera, diketahui juga menghasilkan senyawa antikanker. Salah satu antikanker jenis ET 743, misalnya, dihasilkan oleh Ecteinascidia turbinata. Namun, untuk mendapatkan 1 gram ET 743 dibutuhkan 1 ton terumbu karang untuk diekstrak. Demikian pula antikanker halicondrin yang dihasilkan Lissodendroryx membutuhkan 1 ton terumbu karang untuk mendapatkan 0,3 gram halicondrin.

Salah satu antikanker bryostatin A dihasilkan mikroba yang berasosiasi dengan Bugula neritina. Apabila diberi antibiotik, Bugula neritina itu tidak menghasilkan bryostatin A. Namun, persoalannya mikroba yang bisa dibiakkan dalam media kultur di laboratorium hanya 1 persen, sebanyak 99 persen tidak bisa dikultur. Ia memberi contoh Theonella swinhoei yang ada di Indonesia, 40 persen massa tubuhnya adalah bakteri. Namun, 200 spesies bakteri tersebut tidak bisa dibiakkan dalam media kultur. Padahal, bakteri-bakteri ini berpotensi menghasilkan senyawa bioaktif.

"Ini yang menyebabkan saya akhirnya memutuskan menekuni mikrobiologi laut," ujar Ocky.

Dari hasil penelitian Ocky, karang keras sekalipun, seperti jenis Akropora di Teluk Awur, Jepara, ternyata memiliki mikroba Pseudoalteromonas luteoviolace. Mikroba itu dapat menghambat laju pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang menyebabkan diare pada manusia. Selain itu dapat menghambat Staphyllococcus aureus yang menyebabkan penyakit infeksi pada manusia dan Vibrio sp yang menyebabkan penyakit vibriosis pada udang.

Akan tetapi, yang paling penting dari metodenya adalah dampaknya yang minimal terhadap sumber daya terumbu karang untuk obat-obatan. "Orang mengambil 1 ton terumbu karang, saya hanya butuh 5 gram untuk isolasi," katanya.

Selain antibakteri, zat bioaktif mikroba yang berasosiasi dengan terumbu karang ini juga antitumor dan menghasilkan enzim amilase. Selain itu, mikroba tersebut sangat berwarna. Dengan hasil penelitian ini, Ocky mengajak rekan-rekan peneliti lainnya di "daratan" untuk mengembangkan temuannya di laut. "Saya sudah berhasil mengonfirmasi potensi mikroba ini. Mari kita keroyok bersama-sama," ujarnya.

Untuk mengembangkannya, Ocky, misalnya, sudah bekerja sama dengan ahli pigmen dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Dr Leenawaty Limantara, untuk meneliti pigmen. Untuk meneliti enzim tersebut, Ocky bekerja sama dengan ahli farmasi dari Institut Teknologi Bandung, Dr Dessy Natalia. Belum lagi kerja sama dan bantuan pendanaan dengan berbagai lembaga di luar negeri, seperti Italia, Kanada, Jerman, dan Swedia.

Setamat dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto tahun 1989, suami Endang Sudaryati (41) itu melanjutkan pendidikan S2 di Departemen Biologi Universitas McMaster Hamilton, Kanada, tahun 1994. Pendidikan S3 ditempuhnya di Departemen Aquatic Biosciences Universitas Tokyo tahun 2001.

"Saya selalu bilang sama anak saya, Papa itu bukan orang yang pintar. Saya percaya, untuk mencapai puncak kesuksesan harus mendakinya, bukan melompatinya," ujar ayah dua putri, Septhy Kusuma Radjasa (14) dan Muthia Radjasa (11), itu.

Ke depan, Ocky masih menyimpan obsesi untuk mengembangkan mikrobiologi laut ini agar diketahui masyarakat luas di Indonesia. "Misi saya adalah menjembatani laut dan darat. Banyak fenomena di laut yang orang darat belum tahu," ujar Ocky yang sebetulnya adalah orang lereng Gunung Slamet, lahir di Purwokerto, 29 Oktober 1965.

Sumber : Kompas, Rabu, 22 November 2006

Thursday, July 1, 2010

Wawancara dengan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof. Sangkot Marzuki :



Dunia ilmu pengetahuan biomolekuler adalah bagian dari ilmu kedokteran yang menyelidiki penyakit hingga molekul terkecil. Di Indonesia, lembaga yang meneliti tentang hal itu adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Pembaruan/YC Kurniantoro - Sangkot Marzuki

Di institusi tersebut, saat ini para peneliti yang umumnya dokter, melakukan serangkaian riset di bidang biomolekuler, umumnya berkonsentrasi pada penelitian deoxyribonucleic acid (DNA, asam dioksiribonukleat). Karenanya tak mengherankan apabila lembaga ini juga sering dimintai tolong pemerintah, untuk meneliti dan mengidentifikasi DNA. Lembaga Eijkman meneliti DNA korban bom Bali dll.

Selain mengidentifikasi DNA, lembaga ini juga meneliti genom Nusantara atau genom bangsa Indonesia. Penelitian genom dilakukan berkaitan dengan penyakit-penyakit yang ada di Indonesia.

Pembaruan berbincang-bincang dengan Profesor Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, di kantornya yang berada dalam satu kompleks dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, awal September ini. Berikut petikannya.

Mulai kapan Lembaga Eijkman mulai berkonsentrasi di bidang penelitian genom?

Mungkin sekitar tahun 1995, kita mulai dengan penekanan ke arah genom. Dari permulaan kita bergerak di bidang biologi molekuler, dalam hal ini genom.

Apa visi dan misi Lembaga Eijkman?

Dari permulaan kita arahkan kita mempunyai dua visi dan misi. Yang pertama berkaitan dengan penyakit-penyakit infeksi. Penyakit-penyakit infeksi ini adalah permasalahan kesehatan Indonesia masa kini seperti malaria.

Yang kedua mengarah ke penyakit-penyakit masa depan, kedokteran masa depan. Kedokteran masa depan adalah kedokteran molekul. Contoh dari ini, saat kami meneliti talasemia yang ternyata merupakan penyakit genetik yang di Indonesia cukup banyak penderitanya. Awalnya kita hanya tahu sedikit sekali tentang talasemia. Ternyata, setelah diteliti, talasemia ini ditimbulkan banyak faktor, antara lain secara genetis.

Penelitian dengan merunut gen berfokus pada apa?

Satu bidang keahlian saya yang sebenarnya, yang diakui di dunia internasional yang saya bawa dari Australia, adalah meneliti satu materi genetik dalam sel. Bukan inti sel, tetapi bagian sel, yaitu mitokondria. DNA mitokondria itulah yang kita teliti. DNA mitokondria itu kaitannya dengan berbagai penyakit disebabkan mutasi di DNA mitokondria ini.

Laboratorium saya di Melbourne adalah yang pertama menemukan penyakit disebabkan ini. Pertanyaannya, mengapa mitokondria? Itu karena laju mutasinya tinggi, sehingga perbedaan urutan basanya, antara dua orang, agak lebih banyak dibanding DNA inti. Sehingga kita bisa mempelajari dua kelompok manusia yang berpisahnya masih belum lama, baru 10.000 tahun dibanding 60.000 tahun. Perbedaannya menjadi lebih bisa dilihat karena lebih sensitif. Jadi DNA mitokondria ini merupakan favorit orang untuk mempelajari populasi. Inilah yang menjadi tool (perangkat) kita mempelajari penyakit.

Tentang talasemia, mutasi yang mendasari tidak sama di setiap suku bangsa di Indonesia. Contohnya, di Makassar, yang mendasari terjadinya talasemia berbeda dengan yang di Jawa. Jadi saya sadar, kita pun ternyata "bhineka tunggal ika" dalam kaitan dengan penyakit. Kalau kita bhineka tunggal ika dalam penyakit, kita bisa mengetahui kelompok mana yang dekat dengan penyakit. Tool-nya untuk mencari itu sudah ada di tangan, DNA mitokondria. Itu kontribusinya terhadap dunia.

Sudah menemukan penyakit yang khas di setiap suku di Indonesia?

Penyakitnya sama, tetapi latar belakang molekulnya berbeda. Jadi apakah ada penyakit hereditas yang unik untuk satu suku bangsa? Tidak begitu, tetapi di balik kalimatnya. Talasemia misalnya, tidak di semua populasi etnik talasemianya tinggi. Seperti di Manado, itu rendah sekali. Batak Toba rendah sekali. Toraja rendah, tetapi tidak rendah sekali. Akhirnya, di setiap populasi etnik kita melihat apa yang namanya orang asli.

Sekali lagi tentang talasemia, ada satu mutasi, malahan mutasi bersama, yang hanya terdapat di orang Melayu. Kalau ada orang Melayu, ini yang kita periksa terlebih dahulu. Ini kita sebut Hb Malay. Itu menarik, karena ada hanya pada orang Melayu, yakni mereka ada di Palembang, Jambi, Semenanjung Malaysia, selatan Thailand, tetapi tidak ada di Pulau Jawa. Hanya ada di orang-orang yang berbahasa Melayu. Itu istilah kita. Ternyata suku bangsa itu sama dengan bahasa, sebetulnya.

Kalau boleh disebut, penyakit genetik di Indonesia, yang kelihatan dan menjadi konsentrasi penelitian?

Talasemia dan diabetes melitus. Pertama kita mulai dari penyakit-penyakit yang single gene, yang simpel, satu mutasi menyebabkan penyakit, seperti kebutaan. Itu karena terjadi mutasi di DNA mitokondria.

Tetapi, banyak juga ternyata penyakit yang poligenik. Beberapa gen yang berinteraksi, itu juga penting. Pre eclampsi, itu genetic. Ternyata semua penyakit mempunyai genetic opponent, cuma mana yang lebih berat dan ada modifikasi apakah seseorang punya tendensi untuk mendapatkan itu.

Misalnya, kalau kita tidak punya gen diabetes mellitus, gen yang membuat kita lebih sensitif, kita bisa hidup lebih bebas. Kalau kita punya tendensi itu, kita akan lebih hati-hati.

Penyakit jantung misalnya, kalau pada dasarnya kita akan membawa kecenderungan untuk itu, kita akan hati-hati dibandingkan kalau gen itu sehat. Jadi kalau poligenik, lingkungan juga berperan. Poligenik terjadi karena interaksi, dan disebut complex disease. Bisa juga disebut sebagai interaksi gen kita dengan lingkungan. Pada akhirnya, semua ada faktor genetiknya.

Apakah kita menderita malaria, bisa menjadi malaria berat atau ringan. Ada faktor genetik penyakit infeksi. Kita mencari faktor-faktor itu. Itulah mengapa ada orang yang sakitnya lebih berat daripada orang lain. Penyakit infeksi pun ada faktor genetik, tidak cuma dari manusianya, tetapi juga dari kumannya.

Tentang penyakit yang akhir-akhir ini berkembang, seperti flu burung dan dulu pernah menghebohkan yakni SARS (sindrom pernapasan akut parah, Red) yang konon hanya menular pada ras tertentu?

Beberapa penyakit memang ada di Indonesia. Ketika kasus SARS konon menyerang etnis tertentu juga ketika flu burung. Salah satu pertanyaan, apakah itu ada human genetic factor?

Kalau flu burung, itu unik sekali. Kami (di Eijkman, Red) tidak tahu karena tidak ada yang meneliti. Tetapi, pada dasarnya semua penyakit, pasti akhirnya ada kaitannya dengan genetik sebagai modifying factor, faktor penentu. Penyakit infeksi pun outcome-nya masih ditentukan berat ringannya faktor genetik

Tentang flu burung?

Penyakit ini ada karena kita merusak alam. Itu penyakit binatang. Karena lingkungan mereka kita kurangi, jadinya loncat ke manusia. Hal itu bisa ter-jadi karena kita hidup terlalu dekat dengan binatang, seperti ayam. Sudah kita rusak alamnya, lingkungannya, space-nya kita kurangi, kita tinggal di dekatnya sehingga terjadi loncatan-loncatan, mutasi.

Kalau kita di bidang ilmiah, kita tahu hal seperti itu akan terus berlangsung. Flu burung ini bukan yang terakhir. Nanti akan ada macam-macam. Contoh yang paling berat, kalau penyakit ini terus menyebar dari manusia ke manusia. Kalau dari burung ke manusia dan selesai sampai di situ, tidak ada masalah. Tetapi kalau dari manusia ke manusia?

Apakah bila dari manusia ke manusia akan cepat menular?

Keadaan itu tidak seketika. Semua bergantung kondisi kesehatan manusia yang tertular. Bisa saja dia tertular, tetapi karena sangat fit, jadinya kondisinya tidak lemah, bisa melawan virus tersebut.

Jelasnya bagaimana tentang loncatan-loncatan itu?

Kalau kita tidak siap dengan perubahan dari alam, penyakit yang tadinya ada di binatang, dan jarang, karena penyakit itu khusus untuk satu spesies, dan kemudian banyak terjadi bencana alam, maka penyakit pun loncat dari satu spesies ke spesies lain. Hal itu sudah berlangsung dari dulu. Kita tahu itu.

Contoh dari itu, malaria falcivarum. Tentang parasit malarianya, kita sampai pada kesimpulan. Kalau vivax, itu mamalia, dekat dengan malaria yang ada di tikus, kera, dan sebagainya. Kalau falcivarum, walau malaria manusia, tetapi dekat dengan malaria burung.

Dulu, dalam sejarah evolusi kita, ada loncatan spesies dari nenek moyang burung ke nenek moyang manusia, atau malah langsung dari burung ke manusia bukan nenek moyang lagi. Puluhan atau ratusan ribu tahun lalu. Jadi loncatan itu sekarang makin sering.

SARS itu loncat. HIV itu loncat. HIV itu kan penyakit primata, bukan manusia. SARS, juga melakukan loncatan, dari kelelawar, ke babi, kemudian manusia.

Loncatan ke manusia?

Kalau dari manusia ke manusia itu, loncatan spesies bisa lemah. Namun, bisa jadi ganas karena spesies itu siap untuk menerima kuman tersebut, entah itu virus atau parasit. Seperti malaria kera, sekarang sering ada di manusia tetapi dia lemah, hampir tidak ada gejala. Kalau dia berbalik, seperti HIV, menjadi out of control, epidemik dan endemik ke seluruh dunia.

Kita seharusnya siap menghadapi hal-hal seperti itu. Kalau ada mutasi misalnya, flu burung, kalau menjadi, ganas sekali, dan menular dari manusia ke manusia.

Jadi harus dua, menular dari manusia ke manusia, dan kedua menjadi ganas. Kalau dari manusia ke manusia tetapi lemah, tidak apa-apa. Misalnya kasus Keluarga Iwan, tiga meninggal, itu tidak tahu apakah di lingkungan itu menyebar atau tidak. Tidak diketahui.

Yang penting, orang-orang di lingkungan dipertanyakan, apakah tertular atau tidak. Kalau tertular tetapi tidak sakit, kita aman.

Bagaimana dengan SARS, katanya menyerang etnis tertentu di Asia. Eijkman tidak melakukan penelitian tentang SARS?

Belum. Kita tidak siap dengan fasilitas penelitiannya, bukan teknologinya. Kita mampu sekali dari segi teknologi. Seperti saat menangani SARS, saya menolak karena untuk menangani itu ada syarat dari WHO, yakni butuh bio safety level 3. Itu karena kita tidak tahu metode penularan SARS, sehingga kita harus bekerja di laboratorium bio level 3.

Indonesia tidak punya satu pun laboratorium seperti itu. Yang level dua pun di Eijkman tidak ada. Saya tidak mau sebab kalau nanti terjadi apa-apa, misalnya, wabah SARS, karena bekerja tidak sesuai dengan standar. Itu pernah terjadi di Singapura. Pernah ada institusi di sana yang mengerjakan penelitian SARS di laboratorium yang standar bio safety-nya tidak sesuai. Sempat memunculkan wabah baru, dan laboratorium itu dihukum.

PEWAWANCARA: S NUKE ERNAWATI
Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/25/Profil/prof01.htm

Eijkman Bekerja Sama untuk Memerangi Penyakit



Jumat, 15 Januari 2010
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman

Lembaga Biologi Molekul Eijkman mengemban misi mengembangkan pengetahuan mendasar di bidang biologi molekul.

Lembaga riset ini juga bertugas menerapkan pengetahuan tersebut untuk pemahaman, pengenalan, pencegahan, dan pengobatan penyakit pada manusia.

Salah satu tujuan khusus lembaga Eijkman, mendorong kerja sama ilmiah internasional dengan mengadakan hubungan kerja resmi dengan institusi ilmiah asing dan dengan mengundang tamu ilmuwan asing.

Menurut Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sangkot Marzuki, kerja sama ilmiah paling utama dalam sejarah berdirinya Lembaga Eijkman ialah dengan lembaga penelitian paling terkemuka di Australia, Walter and Eliza Hall Institute of Medical Research, Melbourne, Australia.

Eijkman dibiayai Pemerintah Australia dalam program Australia-Indonesia Medical Research Initiative (AIMRI) di bidang malaria.

Fokus penelitian malaria tentang resistensi terhadap penggunaan obat. Selain itu, penelitian terhadap malaria berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak manusia dan pengembangan vaksin.

“Saya sengaja meminta enam peneliti Australia agar dapat bekerja sama dengan peneliti Indonesia guna menciptakan suasana kerja yang sifatnya internasional.

Sebab, untuk menciptakan suasana tersebut tidak dapat dipelajari, akan tetapi harus diciptakan,” ujar Direktur Lembaga Eijkman yang menjabat mulai dari 1992 sampai dengan sekarang.

Saat itu, setiap pasang peneliti dari Australia dan Indonesia bekerja di tiga laboratorium yang berbeda.

Suasana kerja tersebut sudah menjadi standar para peneliti di lembaga Eijkman sampai sekarang. Selain itu, kontribusi dari kerja sama dalam penelitian malaria tersebut adalah publikasi ilmiah atas nama lembaga Eijkman meskipun juga dikerjakan peneliti asing.

Untuk memperkuat kegiatan penelitian, kelompok malaria di lembaga Eijkman juga melakukan beberapa kolaborasi dengan penelitian internasional, seperti Monash University, Melbourne, Australia, dan Universitas Nijmegen, Belanda.

Kerja sama internasional Lembaga Eijkman yang penting lainnya ialah penelitian terhadap wabah penyakit di wilayah tropis dengan Novartis Insitute for Tropical Diseases (NITD), Singapura, dan Hasanudin University Clinical Research Initiative (NECHRI) dalam penelitian klinis terhadap penyakit demam berdarah dengue, tuberkulosis, dan malaria.

Selain itu, Lembaga Eijkman juga menjalin kerja sama dengan Oxford University yang diberi nama Eijkman- Oxford Clinical Research Unit.

Dalam kerja sama ini, publikasi riset ilmiah atas nama lembaga Eijkman. “Karena ada embel-embel Oxford, maka kita sangat mudah mengakses dana ke international founding,” kata Prof. Sangkot.
awm/L-1

Sumber artikel : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=42519

Sejarah Eijkman




Gedung Lembaga Eijkman adalah bangunan bersejarah yang kini ditempati oleh Lembaga Biologi Molekular Eijkman, tempat dilakukannya berbagai penelitian penting yang antara lain menghasilkan hadiah Nobel untuk Christiaan Eijkman, direktur pertama dan pendiri Lembaga ini. Sejarah juga mencatat bahwa direktur Indonesia pertama Lembaga Eijkman, Achmad Mochtar, gugur dalam mempertahankan kebenaran pada jaman perjuangan kemerdekaan.

Arsitektur gedung bersejarah Eijkman ini adalah H. von Essen yang memadukan arsitektur Eropa dan lokal. Gedung yang terletak di Jalan Diponegoro (d/h Oranje Boulevard), Jakarta Pusat (d/h Weltevreden) ini dibangun pada tahun 1914, dan diresmikan tahun 1916, di bawah pengarahan direktur kedua, Gert Grijns, ditujukan untuk memindahkan laboratorium Eijkman yang didirikan tahun 1888 di Rumah Sakit Pusat Militer (sekarang Rumah Sakit Gatot Soebroto) agar berada di dalam satu kompleks bersama rumah sakit dan sekolah tinggi kedokteran.

Dalam sambutannya Grijns menyatakan harapan "agar orang-orang yang nantinya bekerja di laboratorium yang indah ini dapat melakukan serangkaian penelitian ilmiah yang cemerlang, melebihi keindahan dari bentuk gedungnya. Tetapi yang lebih penting lagi adalah berkat penelitian-penelitian tersebut dapat membuka jalan demi menciptakan suatu keadaan yang sehat, dan memberikan sumbangan yang penting bagi perkembangan dan penanggulangan masalah kesehatan di daerah, dan juga termasuk bencana".


Kompleks bangunan bersejarah Eijkman berbentuk segi empat dengan luas 5.500 m2, dan mempunyai lapangan terbuka untuk taman di tengahnya. Pada saat Lembaga Eijkman dibuka kembali tahun 1995, bangunan tersebut telah lebih dari 30 tahun diterlantarkan. Tahun ini, pemugaran gedung telah dirampungkan dan gedung beralih-fungsi sebagai laboratorium penelitian biologi sel dan molekul yang canggih, mengakomodasi fasilitas biologi molekular termutakhir. Pada prinsipnya semua komponen asli dari bangunan yang lama dipertahankan, kecuali tidak dimungkinkan. Fasilitas laboratorium modern seperti air panas, gas, listrik, jaringan komputer dan telepon dimasukkan tanpa merusak arsitektur dasar bangunan. Beberapa fasilitas mutakhir yang baru selesai dibangun telah dirancang sehingga memenuhi kaidah keamanan hayati, tetapi tetap serasi dengan arsitektur bangunan bersejarah.(Ina/ACME)

Sumber : http://acme-chronicle.blogspot.com/2007/12/gedung-eijkman.html

Ketika Laboratorium Eijkman Membangun Brand Dunia



Foto : dok Abdul malik

Ketika Laboratorium Eijkman Membangun Brand Dunia
Kamis, 13/03/2008
JAKARTA (SINDO) – Laboratorium biologi molekuler kelas dunia Eijkman lengkap dengan fasilitas canggih dan keamanan tingkat tinggi siap menggapai predikat go international. Apa yang terlintas di benak Anda jika mendengar laboratorium biologi molekuler? Mungkin,Anda akan membayangkan sebuah tempat penuh virus penyakit paling berbahaya. Tidak salah memang. Tempat ini dibilang rawan karena virus berbagai penyakit paling berbahaya dikembangbiakkan dan diteliti di laboratorium ini. Salah satu laboratorium molekuler di Indonesia adalah Lembaga Eijkman, yang sudah memiliki fasilitas biosavety level-3 (BSL-3).
Di sinilah dilakukan penelitian berbagai virus penyakit, mulai HIV, bakteri TB, virus DBD, malaria,hingga avian influenza (AI/flu burung). Saking rawannya, laboratorium ini memang tidak bisa ditangani sembarang orang. ’’Sudah sejak dulu kami menjadi laboratorium kelas internasional. Untuk itu, saat ini kami melakukan banyak perbaikan agar lab ini memang benar-benar menjadi kelas dunia,” tutur Manajer Eksekutif Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo MD PhD kepada SINDO, yang berkesempatan mengunjungi tempat ini. Saat ini Lembaga Eijkman sedang berbenah. Berdasarkan pengamatan SINDO, laboratorium itu memiliki fasilitas lengkap dan canggih. Selain itu, gedung ini diberikan sentuhan interior modern yang nyaman. Hal itu kontras dengan wajah bangunan Belanda yang dibangun pada 1888 ini.
Sebab, jika dilihat dari luar, gedung tersebut terkesan tua dan kurang terawat. ’’Jika dulu orang membayangkan gedung Eijkman adalah bangunan tua penuh kelelawar dan kotor penuh debu, kini kami sudah mengubahnya sedemikian rupa. Menjadi lebih modern meski bangunannya masih bangunan asli zaman Belanda,”tutur Direktur Lembaga Eijkman Profesor Sangkot Marzuki. Tidak salah jika lembaga berstatus kelas dunia itu sedang mengupayakan diri untuk menjadi laboratorium yang berhak mengeluarkan sertifikat bagi laboratorium lain di dalam negeri. Ini bukanlah langkah mudah. Sebab, lab yang saat ini mencari status kelembagaan sebagai salah satu lembaga nondepartemen (LPND) ini harus banyak sekali melakukan pembenahan hingga benar benar mendapatkan kepercayaan dunia riset internasional.
Sertifikat itu bisa dalam bentuk memberikan predikat kepada sebuah laboratorium, apakah dia layak mendapatkan predikat sebagai lab BSL-3 ataukah tidak. ’’Kami menargetkan agar Eijkman bisa menjadi pelopor bagi laboratorium di dalam negeri sehingga berhak mengeluarkan sertifikat bagi laboratorium lainnya di dalam negeri,” ungkap Deputi Bidang Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Profesor Amin Soebandrio MD PhD ketika melakukan kunjungan ke Lembaga Eijkman kemarin sore (12/3). Bangunan seluas 5.500 m2 itu memang memiliki beberapa fasilitas beberapa laboratorium, di antaranya lab genetika populasi, mitokondria, talasemia dan kelainan sel darah, malaria, forensik molekul, bioinformatika.
Ini masih ditambah satu lagi laboratorium BSL-3 yang ditempatkan secara terpisah. Di dalam lab inilah, virusvirus penyakit berbahaya dikembangbiakkan sehingga tidak sembarang orang bisa masuk ke tempat itu. Pintu masuknya berlapis tiga, hampir tidak berbeda dengan laboratorium penelitian nuklir. Sebab, jika tidak demikian, virus yang sudah dikembangbiakkan tersebut akan mudah sekali menyebar.Tentunya itu akan sangat berbahaya.’’Saat ini kami baru mengembangbiakkan virus flu burung untuk laboratorium BSL-3.Kami juga akan mengembangbiakkan virus-virus lain, seperti HIV,”ujarnya. Orang awam pasti akan ngeri mendengar bahwa virus bisa dikembangbiakkan. Namun, jangan khawatir virus yang dikembangbiakkan di laboratorium ini untuk kepentingan penelitian.
Jika virus itu dikembangbiakkan, akan diketahui karakternya dan diteliti bagaimana cara melawannya. Bahkan, pengembangan vaksin pun dikembangkan dari virus penyakit bersangkutan. Salah satunya pengembangan vaksin flu burung yang diambil dari salah satu zat protein dalam virus tersebut.Ketika masyarakat mendapatkan vaksin, dia akan menjadi kebal saat diserang virus dari penyakit yang belum ada obatnya itu. Namun, tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk mengembangkan sebuah vaksin.
Umumnya, pengembangan itu bisa memakan waktu berpuluh-puluh tahun. Itu pun belum tentu berhasil. Herawati menuturkan,demi mengembangkan brand Eijkman untuk diakui dunia, pelayanan yang dilakukan tidak lagi pasif, melainkan aktif menjemput bola. Sebagai sebuah laboratorium, mungkin hal itu agak kurang lazim. Sebab, umumnya sebuah lab hanya digunakan untuk melakukan eksperimen atas dasar permintaan atau program pemerintah. (abdul malik)
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/ragam/ketika-laboratorium-eijkman-membangun-brand.html dalam http://isacrohan.blogspot.com/2008/03/ketika-laboratorium-eijkman-membangun.html

Komisi VII DPR Kunjungi Lembaga Eijkman


JAKARTA, SENIN - Jajaran anggota Komisi VII DPR RI melaksanakan kunjungan kerja ke Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, pada Senin (10/11), sebagai rangkaian kunjungan kerja ke Provinsi DKI Jakarta.


Selama ini, Komisi VII mendukung pengembangan lembaga itu terutama dalam pembangunan Biosafety Laboratory Level 3 atau BSL-3, pengembangan laboratorium forensik dan penggantian peralatan-peralatan laboratorium terkini dan canggih.

Dalam kunjungan itu, para anggota Komisi VII DPR meninjau fasilitas riset Lembaga Eijkman yaitu Laboratorium Kelainan Genetika Sel Darah Merah yang memiliki manfaat langsung penelitian mendasar strategis dalam penanganan masalah kesehatan. Rombongan juga meninjau laboratorium mitokondria sebagai landasan keunggulan lembaga dalam penelitian keanekaragaman genetik manusia Indonesia.

Selain itu, para anggota DPR meninjau Fasilitas DNA Forensik termasuk genotyping, real time PCR dan pengurutan DNA yang banyak mendukung tugas kepolisian dalam mengungkap kasus ledakan bom, laboratorium malaria, laboratorium biologi sel yang mendeteksi kelainan kromosom dengan probe DNA, dan laboratorium hepatitis yang menggambarkan keanekaragaman genetik serta distribusi virus hepatitis B di Indonesia.

Rombongan juga mengunjungi laboratorium identifikasi virus flu burung dan fasilitas biosafety level 3 (BSL-3) dan BSL- 2. Fasilitas riset itu sangat dibutuhkan dalam pengembangan teknologi biologi molekul untuk pengenalan dan penanganan penyakit infeksi baru yang berpotensi menimbulkan pandemi dan saat ini menjadi masalah kesehatan besar dunia.

Menurut Direktur Lembaga Eijkman Prof Sangkot Marzuki, keberadaan lembaga yang dia pimpin antara lain bertujuan melaksanakan riset-riset fundamental yang memfokuskan pada aplikasi biologi molekuler dalam dunia kedokteran, untuk membangun laboratorium nasional yang memiliki teknologi canggih dan para pakar dalam bidang biologi molekuler, mengaplikasikan teknologi untuk pengembangan diagnosis, terapi dan pencegahan penyakit-penyakit tropis.

Sejak mulai beroperasi pada1993, lembaga tersebut terus berkembang dan menghasilkan berbagai hasil riset dasar yang diakui secara internasional. Bahkan, belakangan lembaga itu menjalin kerja sama dengan pihak Kepolisian RI untuk mengembangkan iptek dan pelayanan di bidang DNA forensik.

Unit Identifikasi DNA Lembaga Eijkman telah membantu Polri dalam mengidentifikasi berbagai pelaku bom bunuh diri dan proses tindak lanjutnya, berbagai kasus kriminalitas dan bencana massal.

Ketua Komisi VII DPR RI Airlangga Hartarto menyatakan pihaknya terus mendukung pengembangan riset yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Saat ini, pengembangan riset biologi molekuler sangat penting bagi suatu negara. Oleh karena itu, kami mendukung sepenuhnya riset-riset yang dilakukan Eijkman, termasuk peningkatan kapasitas fasilitas penelitian, ujarnya.
Penulis: Evy Rachmawati
Sumber : http://nasional.kompas.com