Wednesday, March 30, 2011

Pasien Malaria Stop Gunakan Obat Cloroquin

Metrotvnews.com, Timika: Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan, Dr Rita Kusriastuti MSc, mengemukakan obat cloroquin sudah resisten untuk mengobati penyakit malaria sehingga tidak boleh lagi dipakai.

"Kita harus stop berikan cloroquin kepada pasien yang terserang penyakit malaria," kata Rita kepada ANTARA di Timika, Rabu (30/3).

Ia mengemukakan hal itu di sela-sela kegiatan seminar dan lokakarya Rencana Strategi Penanggulangan Malaria di Kabupaten Mimika tahun 2011-2026 kerja sama Dinas Kesehatan Mimika, Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), dan PT Freeport Indonesia bertempat di Timika.

Rita mengemukakan, saat ini terdapat jenis obat baru yang digunakan untuk mengobati penyakit malaria yaitu Dehidro Artemisinin Pepraquin (DHP).

Stok obat DHP di Indonesia saat ini dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan baik untuk permintaan rumah sakit pemerintah maupun swasta.

"Kita sudah menghitung kebutuhan obat ini se-Indonesia dan pemerintah menjamin persediaannya sangat cukup," jelas Rita.

Ia mengaku prihatin dengan kondisi di Papua terutama di Timika dimana sekitar 60 persen pasien malaria pergi berobat ke klinik swasta yang tidak menyediakan obat DHP.

Menurut Rita, ke depan klinik dan rumah sakit swasta bisa memperoleh dan menggunakan obat DHP untuk pengobatan pasien malaria mengingat obat tersebut gratis.

Pungutan kepada pasien hanya diberlakukan untuk pemeriksaan laboratorium dan jasa dokter, sementara untuk obat tidak boleh dipungut bayaran karena mendapat subsidi dari pemerintah.

Rita menambahkan, Kemenkes akan mendiskusikan dengan jajaran terkait lainnya tentang usulan Kabupaten Mimika agar obat DHP bisa disediakan di beberapa apotek.

Sejauh ini pendistribusian obat DHP belum dilakukan ke klinik swasta maupun apotek karena dikhawatirkan obat ini juga akan mengalami resistensi terhadap penyakit malaria akibat penggunaan yang tidak dikontrol.

"Kalau tanpa resep dokter akan sangat berbahaya. Kita semua harus menjaga agar tidak terjadi resistensi pada obat ini," tutur Rita.

Kepala Dinas Kesehatan Mimika, Erens Meokbun mengatakan stok obat DHP di Mimika saat ini dalam jumlah yang cukup.

Penggunaan obat DHP di Mimika untuk pengobatan penyakit malaria dilakukan sejak tahun 2006 dan hingga saat ini masih terbatas di RS pemerintah, beberapa Puskesmas, Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) milik LPMAK, RS AEA Tembagapura, Public Health and Malaria Control (PHMC) PT Freeport dan sejumlah klinik Malcon.

"Kita komitmen untuk menggunakan obat DHP. Kita mendapat bantuan dari pusat melalui provinsi, juga ada alokasi anggaran dalam APBD Mimika tahun 2011 untuk pengadaan obat tersebut," jelasnya.(Ant/*)

Batuk Berdahak Tidak Efektif Diberi Antibiotik

Minum antibiotik untuk batuk akut yang menghasilkan dahak hijau atau kuning hanya memiliki sedikit manfaat, demikian menurut penelitian terbaru.

Sebuah studi yang melibatkan lebih dari 3.000 orang dewasa dari seluruh Eropa menemukan bahwa pasien yang menghasilkan dahak berwarna lebih mungkin diresepkan antibiotik oleh dokter mereka. Sayangnya minum antibiotik tampaknya tidak mempercepat pemulihan mereka, demikian menurut studi yang dipublikasikan di European Respiratory Journal.

Batuk akut atau infeksi saluran pernapasan bawah merupakan alasan yang sangat umum bagi orang-orang untuk mengunjungi dokter mereka di Inggris.

Batuk berdahak berwarna hijau atau kuning juga merupakan salah satu alasan paling umum untuk dokter meresepkan antibiotik, karena mereka percaya batuk itu mungkin disebabkan oleh bakteri.

Tim dari School of Medicine di Cardiff University mengumpulkan data dari 13 negara Eropa untuk penelitian mereka, meminta pasien dan dokter untuk merekam gejala dan pengobatan untuk kondisi tersebut.

Para peneliti menemukan bahwa pasien yang menghasilkan dahak hijau atau kuning diberi resep antibiotik "jauh lebih sering" dibandingkan mereka mereka yang berdahak bening atau putih.

Mereka juga menemukan bahwa, setelah tujuh hari, perbedaan terbesar antara mereka yang dan tidak diobati dengan antibiotik kurang dari satu setengah persen poin pada skala keparahan gejala.

Profesor Chris Butler, yang memimpin studi itu, mengatakan, “Temuan kami seirama dengan dengan temuan dari percobaan acak di mana manfaat dari perawatan antibiotik dalam dahak yang menghasilkan warna hampir tidak ada pengaruhnya.”

"Temuan kami menambah bobot pesan bahwa batuk akut pada orang dewasa tidak sembuh lebih cepat dengan pengobatan antibiotik,” imbuh Profesor Butler seperti dilansir BBC. "Bahkan, resep antibiotik dalam situasi ini hanya dihadapkan pada efek samping dari antibiotik, merongrong masa depan, dan menggerakkan pada resistensi antibiotik."

Profesor Butler menambahkan, "Antibiotik bisa menyelamatkan nyawa orang, tetapi kita perlu untuk menjauhkan obat tersebut dari orang-orang yang tidak akan mendapatkan keuntungan dengan mengonsumsinya. Semakin banyak kita menggunakannya, semakin kecil kemungkinan antibiotik itu bekerja."

Prof Iwan Dwiprahasto, Guru Besar Farmakologi Universitas Gadjah Mada menuturkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat bisa membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun individu. Bentuk penyalahgunaannya cukup beragam mulai dari tidak tepat memilih jenis antibiotik hingga cara dan lamanya pemberian.

"Kebiasaan memberikan antibiotik dengan dosis yang tidak tepat serta waktu pemberian yang terlalu singkat atau terlalu lama akan menimbulkan masalah resistensi yang cukup serius," ujar Prof Iwan dalam acara workshop jurnalis kesehatan di Depok, Sabtu (26/3).

Infeksi virus seperti demam, flu, batuk pilek, radang tenggorokan dan beberapa infeksi telinga merupakan infeksi yang tidak boleh diobati dengan antibiotik. Hal ini karena antibiotik membunuh bakteri dan tidak membunuh virus.(go4/*

Sumber : metrotv.news