Thursday, July 1, 2010

Wawancara dengan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof. Sangkot Marzuki :



Dunia ilmu pengetahuan biomolekuler adalah bagian dari ilmu kedokteran yang menyelidiki penyakit hingga molekul terkecil. Di Indonesia, lembaga yang meneliti tentang hal itu adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Pembaruan/YC Kurniantoro - Sangkot Marzuki

Di institusi tersebut, saat ini para peneliti yang umumnya dokter, melakukan serangkaian riset di bidang biomolekuler, umumnya berkonsentrasi pada penelitian deoxyribonucleic acid (DNA, asam dioksiribonukleat). Karenanya tak mengherankan apabila lembaga ini juga sering dimintai tolong pemerintah, untuk meneliti dan mengidentifikasi DNA. Lembaga Eijkman meneliti DNA korban bom Bali dll.

Selain mengidentifikasi DNA, lembaga ini juga meneliti genom Nusantara atau genom bangsa Indonesia. Penelitian genom dilakukan berkaitan dengan penyakit-penyakit yang ada di Indonesia.

Pembaruan berbincang-bincang dengan Profesor Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, di kantornya yang berada dalam satu kompleks dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, awal September ini. Berikut petikannya.

Mulai kapan Lembaga Eijkman mulai berkonsentrasi di bidang penelitian genom?

Mungkin sekitar tahun 1995, kita mulai dengan penekanan ke arah genom. Dari permulaan kita bergerak di bidang biologi molekuler, dalam hal ini genom.

Apa visi dan misi Lembaga Eijkman?

Dari permulaan kita arahkan kita mempunyai dua visi dan misi. Yang pertama berkaitan dengan penyakit-penyakit infeksi. Penyakit-penyakit infeksi ini adalah permasalahan kesehatan Indonesia masa kini seperti malaria.

Yang kedua mengarah ke penyakit-penyakit masa depan, kedokteran masa depan. Kedokteran masa depan adalah kedokteran molekul. Contoh dari ini, saat kami meneliti talasemia yang ternyata merupakan penyakit genetik yang di Indonesia cukup banyak penderitanya. Awalnya kita hanya tahu sedikit sekali tentang talasemia. Ternyata, setelah diteliti, talasemia ini ditimbulkan banyak faktor, antara lain secara genetis.

Penelitian dengan merunut gen berfokus pada apa?

Satu bidang keahlian saya yang sebenarnya, yang diakui di dunia internasional yang saya bawa dari Australia, adalah meneliti satu materi genetik dalam sel. Bukan inti sel, tetapi bagian sel, yaitu mitokondria. DNA mitokondria itulah yang kita teliti. DNA mitokondria itu kaitannya dengan berbagai penyakit disebabkan mutasi di DNA mitokondria ini.

Laboratorium saya di Melbourne adalah yang pertama menemukan penyakit disebabkan ini. Pertanyaannya, mengapa mitokondria? Itu karena laju mutasinya tinggi, sehingga perbedaan urutan basanya, antara dua orang, agak lebih banyak dibanding DNA inti. Sehingga kita bisa mempelajari dua kelompok manusia yang berpisahnya masih belum lama, baru 10.000 tahun dibanding 60.000 tahun. Perbedaannya menjadi lebih bisa dilihat karena lebih sensitif. Jadi DNA mitokondria ini merupakan favorit orang untuk mempelajari populasi. Inilah yang menjadi tool (perangkat) kita mempelajari penyakit.

Tentang talasemia, mutasi yang mendasari tidak sama di setiap suku bangsa di Indonesia. Contohnya, di Makassar, yang mendasari terjadinya talasemia berbeda dengan yang di Jawa. Jadi saya sadar, kita pun ternyata "bhineka tunggal ika" dalam kaitan dengan penyakit. Kalau kita bhineka tunggal ika dalam penyakit, kita bisa mengetahui kelompok mana yang dekat dengan penyakit. Tool-nya untuk mencari itu sudah ada di tangan, DNA mitokondria. Itu kontribusinya terhadap dunia.

Sudah menemukan penyakit yang khas di setiap suku di Indonesia?

Penyakitnya sama, tetapi latar belakang molekulnya berbeda. Jadi apakah ada penyakit hereditas yang unik untuk satu suku bangsa? Tidak begitu, tetapi di balik kalimatnya. Talasemia misalnya, tidak di semua populasi etnik talasemianya tinggi. Seperti di Manado, itu rendah sekali. Batak Toba rendah sekali. Toraja rendah, tetapi tidak rendah sekali. Akhirnya, di setiap populasi etnik kita melihat apa yang namanya orang asli.

Sekali lagi tentang talasemia, ada satu mutasi, malahan mutasi bersama, yang hanya terdapat di orang Melayu. Kalau ada orang Melayu, ini yang kita periksa terlebih dahulu. Ini kita sebut Hb Malay. Itu menarik, karena ada hanya pada orang Melayu, yakni mereka ada di Palembang, Jambi, Semenanjung Malaysia, selatan Thailand, tetapi tidak ada di Pulau Jawa. Hanya ada di orang-orang yang berbahasa Melayu. Itu istilah kita. Ternyata suku bangsa itu sama dengan bahasa, sebetulnya.

Kalau boleh disebut, penyakit genetik di Indonesia, yang kelihatan dan menjadi konsentrasi penelitian?

Talasemia dan diabetes melitus. Pertama kita mulai dari penyakit-penyakit yang single gene, yang simpel, satu mutasi menyebabkan penyakit, seperti kebutaan. Itu karena terjadi mutasi di DNA mitokondria.

Tetapi, banyak juga ternyata penyakit yang poligenik. Beberapa gen yang berinteraksi, itu juga penting. Pre eclampsi, itu genetic. Ternyata semua penyakit mempunyai genetic opponent, cuma mana yang lebih berat dan ada modifikasi apakah seseorang punya tendensi untuk mendapatkan itu.

Misalnya, kalau kita tidak punya gen diabetes mellitus, gen yang membuat kita lebih sensitif, kita bisa hidup lebih bebas. Kalau kita punya tendensi itu, kita akan lebih hati-hati.

Penyakit jantung misalnya, kalau pada dasarnya kita akan membawa kecenderungan untuk itu, kita akan hati-hati dibandingkan kalau gen itu sehat. Jadi kalau poligenik, lingkungan juga berperan. Poligenik terjadi karena interaksi, dan disebut complex disease. Bisa juga disebut sebagai interaksi gen kita dengan lingkungan. Pada akhirnya, semua ada faktor genetiknya.

Apakah kita menderita malaria, bisa menjadi malaria berat atau ringan. Ada faktor genetik penyakit infeksi. Kita mencari faktor-faktor itu. Itulah mengapa ada orang yang sakitnya lebih berat daripada orang lain. Penyakit infeksi pun ada faktor genetik, tidak cuma dari manusianya, tetapi juga dari kumannya.

Tentang penyakit yang akhir-akhir ini berkembang, seperti flu burung dan dulu pernah menghebohkan yakni SARS (sindrom pernapasan akut parah, Red) yang konon hanya menular pada ras tertentu?

Beberapa penyakit memang ada di Indonesia. Ketika kasus SARS konon menyerang etnis tertentu juga ketika flu burung. Salah satu pertanyaan, apakah itu ada human genetic factor?

Kalau flu burung, itu unik sekali. Kami (di Eijkman, Red) tidak tahu karena tidak ada yang meneliti. Tetapi, pada dasarnya semua penyakit, pasti akhirnya ada kaitannya dengan genetik sebagai modifying factor, faktor penentu. Penyakit infeksi pun outcome-nya masih ditentukan berat ringannya faktor genetik

Tentang flu burung?

Penyakit ini ada karena kita merusak alam. Itu penyakit binatang. Karena lingkungan mereka kita kurangi, jadinya loncat ke manusia. Hal itu bisa ter-jadi karena kita hidup terlalu dekat dengan binatang, seperti ayam. Sudah kita rusak alamnya, lingkungannya, space-nya kita kurangi, kita tinggal di dekatnya sehingga terjadi loncatan-loncatan, mutasi.

Kalau kita di bidang ilmiah, kita tahu hal seperti itu akan terus berlangsung. Flu burung ini bukan yang terakhir. Nanti akan ada macam-macam. Contoh yang paling berat, kalau penyakit ini terus menyebar dari manusia ke manusia. Kalau dari burung ke manusia dan selesai sampai di situ, tidak ada masalah. Tetapi kalau dari manusia ke manusia?

Apakah bila dari manusia ke manusia akan cepat menular?

Keadaan itu tidak seketika. Semua bergantung kondisi kesehatan manusia yang tertular. Bisa saja dia tertular, tetapi karena sangat fit, jadinya kondisinya tidak lemah, bisa melawan virus tersebut.

Jelasnya bagaimana tentang loncatan-loncatan itu?

Kalau kita tidak siap dengan perubahan dari alam, penyakit yang tadinya ada di binatang, dan jarang, karena penyakit itu khusus untuk satu spesies, dan kemudian banyak terjadi bencana alam, maka penyakit pun loncat dari satu spesies ke spesies lain. Hal itu sudah berlangsung dari dulu. Kita tahu itu.

Contoh dari itu, malaria falcivarum. Tentang parasit malarianya, kita sampai pada kesimpulan. Kalau vivax, itu mamalia, dekat dengan malaria yang ada di tikus, kera, dan sebagainya. Kalau falcivarum, walau malaria manusia, tetapi dekat dengan malaria burung.

Dulu, dalam sejarah evolusi kita, ada loncatan spesies dari nenek moyang burung ke nenek moyang manusia, atau malah langsung dari burung ke manusia bukan nenek moyang lagi. Puluhan atau ratusan ribu tahun lalu. Jadi loncatan itu sekarang makin sering.

SARS itu loncat. HIV itu loncat. HIV itu kan penyakit primata, bukan manusia. SARS, juga melakukan loncatan, dari kelelawar, ke babi, kemudian manusia.

Loncatan ke manusia?

Kalau dari manusia ke manusia itu, loncatan spesies bisa lemah. Namun, bisa jadi ganas karena spesies itu siap untuk menerima kuman tersebut, entah itu virus atau parasit. Seperti malaria kera, sekarang sering ada di manusia tetapi dia lemah, hampir tidak ada gejala. Kalau dia berbalik, seperti HIV, menjadi out of control, epidemik dan endemik ke seluruh dunia.

Kita seharusnya siap menghadapi hal-hal seperti itu. Kalau ada mutasi misalnya, flu burung, kalau menjadi, ganas sekali, dan menular dari manusia ke manusia.

Jadi harus dua, menular dari manusia ke manusia, dan kedua menjadi ganas. Kalau dari manusia ke manusia tetapi lemah, tidak apa-apa. Misalnya kasus Keluarga Iwan, tiga meninggal, itu tidak tahu apakah di lingkungan itu menyebar atau tidak. Tidak diketahui.

Yang penting, orang-orang di lingkungan dipertanyakan, apakah tertular atau tidak. Kalau tertular tetapi tidak sakit, kita aman.

Bagaimana dengan SARS, katanya menyerang etnis tertentu di Asia. Eijkman tidak melakukan penelitian tentang SARS?

Belum. Kita tidak siap dengan fasilitas penelitiannya, bukan teknologinya. Kita mampu sekali dari segi teknologi. Seperti saat menangani SARS, saya menolak karena untuk menangani itu ada syarat dari WHO, yakni butuh bio safety level 3. Itu karena kita tidak tahu metode penularan SARS, sehingga kita harus bekerja di laboratorium bio level 3.

Indonesia tidak punya satu pun laboratorium seperti itu. Yang level dua pun di Eijkman tidak ada. Saya tidak mau sebab kalau nanti terjadi apa-apa, misalnya, wabah SARS, karena bekerja tidak sesuai dengan standar. Itu pernah terjadi di Singapura. Pernah ada institusi di sana yang mengerjakan penelitian SARS di laboratorium yang standar bio safety-nya tidak sesuai. Sempat memunculkan wabah baru, dan laboratorium itu dihukum.

PEWAWANCARA: S NUKE ERNAWATI
Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/25/Profil/prof01.htm

No comments:

Post a Comment